Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia,

" kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.

(QS. An Nahl, 16:68-69)

"Ceritaku di Warteg Itu" - news.okezone.com

Selasa, 14 Desember 2010 - 09:33 wib
Rizka Diputra - Okezone

Ilustrasi Warteg (Foto: dasitya.wordpres)
JAKARTA - Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan pajak 10 persen terhadap warung Tegal alias Warteg, terus menuai reaksi penolakan dari berbagai kalangan terutama konsumen Warteg.
Warteg selama ini dikenal sebagai tempat persinggahan makan alternatif bagi mereka yang berkantong 'pas-pasan'. Oleh karenanya, para penikmat Warteg atau biasa disebut juga warung makan sederhana ini merasa berat hati bila nantinya warteg dikenakan pajak.

Dengan dipungutnya pajak tersebut, berarti harga menu makanan yang tersaji di dalamnya bakal mengalami kenaikan harga. Bahkan bukan mustahil kenaikan tersebut dapat bersifat signifikan bagi mereka.

“Kalau kena pajak pastinya harga-harga juga akan ikut naik Mas, kita sebagai orang kecil pastinya berat dengan kondisi itu. Sekarang saja job (pekerjaan) sudah susah, kita makan mau gimana,” ujar Priyo salah seorang pelanggan Warteg yang ditemui okezone di bilangan Mampang, Jakarta Selatan, baru-baru ini.

Pria asli Malang yang berprofesi sebagai kuli bangunan itu memang sejak lama menjadi pelanggan setia Warteg. Terutama saat jam makan siang tiba, dia mengaku langsung bergegas mencari warteg untuk isi perut.

“Lauk pauknya bervariasi, kita bebas milih menu dan harganya juga terjangkau. Bebas pula nggak kaku kayak di restoran mewah semua serba aturan, ngerokok nggak boleh, ini itu nggak boleh,” katanya.

Hal senada juga diutarakan Ajay karyawan swasta yang bekerja di kawasan Cempaka Putih. Saat ditemui sedang nongkrong di sebuah warteg dekat kantornya, Ajay mengaku tidak setuju pemberlakuan pajak 10 persen bagi Warteg. Menurutnya, kebijakan itu mengada-ada dan terkesan hanya dicari-cari untuk makin menyengsarakan rakyat.

Ajay menilai, masih banyak tempat lain yang lebih besar dan mewah yang lebih pantas dipungut pajak, bukan Warteg yang justru diperuntukkan bagi wong cilik.

“Kalau warteg ini kena pajak, itu berarti kita kena dampaknya. Makan jadi mahal dan bingung ngatur keuangan kita,” kata pria berbadan tambun ini.

Dia pun berharap pemerintah berpikir dua kali jika hendak menerapkan kebijakan yang dinilainya tidak logis itu. Pemerintah seyogyanya memprioritaskan program-program kesejahteraan yang pro dengan rakyat. “Bukannya bikin masalah baru kayak gini, bikin orang puyeng. Sudah tahu harga ini itu mahal, mereka nggak mikir apa. Jangan buka lahan korupsi barulah,” ketusnya.

Sementara itu, penolakan terhadap pajak 10 persen terhadap warteg juga datang dari komunitas internal Warteg sendiri. Ketua Umum Koperasi Warteg H Sastoro mengatakan, kebijakan mengenai pajak restoran dalam UU Nomor 28 tahun 2009 itu tidak mengena substansinya dengan Warteg. Sehingga aturan tersebut menurutnya tidak relevan. “Di situ jelas disebutkan restoran, jadi menurut saya ini tidak kena buat warteg,” kata Sastoro.

Dia pun menjelaskan, bisnis Warteg saat ini tidak sama dengan pada era 1980-1990an yang menjadi era keemasan usaha Warteg kala itu. Mahalnya berbagai harga kebutuhan pokok, sewa tempat dan sebagainya membuat pengusaha warteg saat ini menjadi sulit dan tak sedikit dari mereka yang merugi.

“Kalau ada yang mengatakan pengusaha Warteg itu rumahnya mewah, besar, kaya dan lain-lain itu tidak benar. Kita harus bisa bedakan sekarang situasinya sudah berbeda. Apa apa serba mahal, misalnya bahan baku, sewa tempat, belum lagi gaji karyawan, mereka juga masih banyak yang ngontrak di mana nilai kontrakan di Jakarta harganya terus naik,” keluhnya.

Dia pun mendesak agar rencana pemungutan pajak tersebut tidak hanya ditunda tetapi dibatalkan, lantaran lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya bagi rakyat.

“Kalau diterapkan otomatis pendapatan (warteg) menurun karena pelanggan juga malas datang karena harganya mahal, kitanya juga makin susah,” tutupnya.
(lsi)

0 komentar:

Posting Komentar